Konflik Penggusuran warga Kampung Pulo Ahok dan tangan besi
Apakah
kekerasan yang digunakan untuk menggusur warga Kampung Pulo dapat dibenarkan?
Sebuah
alat berat dibakar warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang terlibat bentrokan
dengan Satpol PP dan Polisi di Jalan Jatinegara Barat, 20 Agustus 2015.
Kegilaan
Hitler terjadi bukan karena ia adalah fasis keji yang megalomania, namun karena
ketiadaan kritik dan kontrol dari para pendukungnya. Ketika Hitler menggunakan
kekerasan, ia menjadi simbol kekuatan. Jerman yang kalah dan dipermalukan
menemukan kembali kebanggaannya melalui kekerasan.
Ia
dipuja karena tegas, ia dipuji karena punya nyali, tapi kita tahu setiap
kekerasan yang dibuat selalu mengorbankan akal sehat.
Fasisme
di Eropa setelah Perang Dunia I banyak orang yang merasakan ketidakberdayaan.
Beberapa kemudian beralih kepada ide-ide nasionalisme yang mengarah pada
fasisme. Manusia macam Benito Musolini dan Hitler menemukan panggungnya. Mereka
yang memiliki kharisma tegas, tanpa kompromi, dan yang jelas tidak segan
menggunakan kekerasan.
Para
pendukungnya dibuat terpukau dengan sikap tegas itu, mereka menanggalkan nalar,
meninggalkan hati nurani, dan yang paling buruk, membunuh empati. Mereka
membiarkan kelompok minoritas rentan ditindas untuk "kepentingan
bersama", "kepentingan bangsa", "stabilitas umum", dan
"kebaikan yang lebih banyak”.
Tapi
apakah kita harus membenarkan ini?
Munculnya
pemimpin tegas dengan kharisma yang melonjak-lonjak memang memberikan harapan.
Seseorang yang mampu menyelesaikan masalah, seseorang yang tanpa ampun,
seseorang yang tidak bisa dikendalikan. Menyingkirkan mereka, sampah, pariya,
dan kelompok yang tidak diinginkan. Mereka kelompok miskin yang jadi lintah,
bodoh, penipu, dan hanya menjadi benalu sistem.
Sosok
pemberani ini selalu dirindukan. Karena kita sendiri tidak berani mengatasi
mereka, kita tidak punya nyali untuk menghadapi kelompok ini secara langsung.
Kita meminjam tangan orang lain untuk menyingkirkan orang yang tidak kita
sukai, hanya karena ia mengganggu rasa nyaman kita. Mereka yang "jualan di
atas trotoar," "pendatang yang bikin macet", "maling yang
menduduki tanah negara", dan sebagainya dan sebagainya.
Cuma orang yang taklid buta yang
membenarkan setiap kebijakan yang dibuat oleh idolanya, ia menutup ruang alternatif
pilihan penyelesaian masalah.
Mungkin
hanya tahu mereka ini menduduki tanah negara, tanpa ada kepedulian untuk paham,
dari mana mereka berasal, mengapa mereka menduduki tanah ini?
Kita
malas untuk peduli, kita ogah untuk peduli, karena kita sudah merasa nyaman
dengan apa yang kita miliki.
Jika
memiliki banyak dukungan atau didukung banyak orang sama dengan benar, maka
betapa celakanya peradaban kita. Hari-hari ini akun sosial media Teman Ahok mengatakan bahwa kejadian Kampung Pulo menuai popularitas, jika
biasanya hanya mampu mengumpulkan sedikit KTP, akibat kejadian ini, tiba-tiba
pengumpulan KTP melonjak.
Gubernur
DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama butuh KTP warganya agar ia bisa maju
lagi dalam pemilihan kepala daerah 2017 nanti, mengingat dirinya kini tak
berpartai setelah keluar
dari Gerindra tahun lalu.
Tidak ada yang mengatakan bahwa melonjaknya
dukungan pemberian KTP itu karena tindakan brutal Ahok pada penduduk Kampung
Pulo. Hanya orang dungu yang mengonstruksi bahwa dengan kekejaman seseorang
mesti dibela. Saya menolak kekerasan, menolak merelakan akal sehat untuk
menerima kekerasan sebagai solusi. Dengan dalih apapun, kekerasan hanya akan
menumpulkan nalar dan nurani.
Ada
banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tentu tindakan tegas adalah salah
satunya, namun tegas bukan berarti menggunakan kekerasan secara brutal.
Anti-kekerasan bukan berarti anti-kemajuan. Mendukung kemajuan bukan berarti
membenarkan kekerasan. Cuma orang yang taklid buta yang membenarkan setiap
kebijakan yang dibuat oleh idolanya, ia menutup ruang alternatif pilihan
penyelesaian masalah.
Maka
ketika konflik Kampung Pulo terjadi, saya kira ada jalan untuk menyelesaikan
masalah.
Warga
Kampung Pulo, Jakarta Timur, terlibat bentrokan dengan Satpol PP dan Polisi.
Bentrokan terjadi karena warga menolak dipindahkan untuk normalisasi kali
Ciliwung. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler
Manusia-manusia
genit yang ogah berpikir menuntut solusi tanpa ada keinginan untuk memahami
masalah. Mereka menuntut penyelesaian cepat, namun pernahkah mereka mengambil
jeda untuk berpikir, pelan memahami masalah, dan berusaha mencari jalan keluar
bersama? Jika melulu kekerasan dan cepat adalah satu satunya jalan, maka apa
gunanya otak dan pengetahuan?
Kekerasan
adalah salah satu solusi penyelesaian masalah, tapi ia bukan yang paling utama.
Sejarah mengatakan bahwa republik ini selalu keras menghajar kaum marjinal
miskin, tapi menjilat pantat dan menghamba pada kelompok berkuasa kaya. Solusi
cepat dan mudah memang menggunakan kekuatan, tapi apakah ia selalu harus jadi
yang paling utama dipilih?
Tindakan
tegas dan keras kerap kali hanya memangsa orang-orang yang lemah, hampir jarang
orang yang mapan jadi tumbal. Ketika Ahok memutuskan untuk menggusur warga
Kampung Pulo, beberapa pendukungnya membenarkan hal itu. Mereka bilang kadang
pemimpin tangan besi diperlukan agar keadaan jadi benar. Lebih dari itu sumpah
serapah diberikan kepada warga Kampung Pulo.
Mereka
yang menuntut ganti rugi dianggap semaunya sendiri, mereka yang menduduki tanah
dituduh penyerobot lahan, ini dilakukan tanpa melakukan verifikasi terhadap
warga. Sesederhana membaca judul berita, mempercayainya sebagai sebuah
kebenaran, kemudian ikut-ikutan mengutuk mereka yang ngotot menolak penggusuran
sebagai orang yang tidak tahu diri.
Penggusuran
selalu dimaksudkan untuk kebaikan, atau setidaknya niat baik membuat keadaan
lebih nyaman untuk kepentingan bersama. Bahwa Jakarta adalah etalase Indonesia,
wajah negara, sehingga menjadi pembenaran untuk menyingkirkan mereka yang buruk
rupa.
Komentar
Posting Komentar